![]()  | 
| ASHOBIYAH | 
Adalah
sunnatulloh bahwa manusia senantiasa ingin mencari kelompok
dalam  hidupnya, karena setiap manusia dengan kelebihan dan
kekurangannya pasti membutuhkan yang lainnya. Alloh ‘Azza wa Jalla mewajibkan
orang-orang beriman untuk hidup berkelompok atau berjama’ah, karena begitu
pentingnya jama’ah dan bahayanya hidup sendirian. Orang-orang yang kufur
kepadaNya juga berkelompok untuk memusuhi dan memerangi orang-orang beriman.
Alloh berfirman :
﴿وَ اعْتَصِمُوْا بِـحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَ لاَ تَفَرَّقُوْا
وَ اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ  إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَآءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا...﴾ آل
عمران : 103
“Dan
berpegang-teguhlah kalian dengan tali Alloh semuanya dan jangan kalian berpecah
belah dan ingatlah kalian akan nikmat Alloh yaitu ketika dulu kalian saling
bermusuhan lalu Alloh lembutkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmatNya
kalian menjadi saudara”. 3 : 103
Tali
Alloh mengandung 2 makna, yaitu : perjanjian Alloh dan Al Qur’an.
وَ
لاَ تَفَرَّقُوْا  artinya
Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada mereka untuk berjama’ah dan
melarang adanya perpecahan.
Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits shohih yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim Rohimahulloh :
·       ((إِنَّ
اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَ يَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا : يَرْضَى لَكُمْ أَنْ
تَعْبُدُوْهُ وَ لاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَ أَنْ تَعْتَصِمُوْا بِـحَبْلِ
اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا، وَ أَنْ تَنَاصَحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ
أَمْرَكُمْ. وَ يَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا ؛ قِيْلَ وَ قَالَ، وَ كَثْرَةُ
السُّؤَالِ وَ إِضَاعَةُ الْمَالِ)) رواه مسلم.
“Sesungguhnya
Alloh Subhanahu wa Ta’ala ridho kepada kalian atas 3  perkara dan
murka kepada kalian atas 3 perkara. Dia ridho kepada kalian jika; kalian hanya
beribadah kepadaNya saja dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu, kalian
berpegang teguh kepada tali Alloh dan tidak berpecah belah, kalian saling
memberi nasehat kepada orang yang Alloh beri kekuasaan atas urusan kalian. Dan
Alloh murka kepada kalian dalam 3 hal; Banyak bicara tanpa tahu
sumber yang dibicarakan, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta. HR.
Muslim.
Dr.
Sholah Showiy dalam kitabnya “Jama’atul Muslimin” menyebutkan bahwa jama’ah
memiliki dua makna, yaitu :
1.      Berkumpul
di atas dasar-dasar yang telah tetap dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ dan
mengikuti apa yang ada pada Salafush Sholeh.
2.      Berkumpul
pada satu imam dan mentaati kepemimpinannya.
Pada
zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya Rodhiyallohu
‘Anhum Ajma’in berpegang teguh kepada jama’ah dalam dua makna tersebut
sekaligus dapat dilakukan oleh kaum muslimin. Tetapi di saat tidak ada lagi
kekholifahan seperti sekarang ini tidak bisa kaum muslimin berpegang teguh
kepada jama’ah kecuali dengan makna yang pertama, yaitu al haq yang terdapat
pada sumber-sumber rujukan Islam (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’).
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata :
“Kalau
seandainya mereka yang mengatakan keharaman jama’ah berkumpul dalam mengurusi
amal kebaikan tertentu, mau melihat pada banyaknya manfaat dan akibat yang baik
dari adanya jama’ah di bumi barat maupun di timur, dan mereka lepas dari nafsu
fanatisme, juga pandangannya mau melihat dunia Islam, tentu tidak akan
mengeluarkan fatwa yang demikian buruk dan menyesatkan”.(Kitab
“Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Amal Jama’I” karya Syeikh Abdurrohman bin
Abdul Kholiq)
Perpecahan
umat Islam hari ini tidak mungkin kita hindari karena itu adalah sunatulloh
walaupun itu termasuk sunatulloh kauniyah yang tidak diridhoi oleh Alloh
Tabaroka wa Ta’ala. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri telah
memberitakan kepada para sahabatnya bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73
golongan. Namun kita harus tetap berusaha untuk berjama’ah/bersatu dan tidak
berpecah belah sebagaimana penjelasan di atas.
Lantas,
apa itu ’Ashobiyah atau ta’ashub?
            Secara
bahasa, Ta’ashub maknanya adalah mengajak seseorang untuk menolongnya dan
bergabung bersama kelompoknya, bersekutu dengan mereka untuk menghadapi musuh,
baik sebagai kelompok yang berbuat dzolim maupun yang mendzolimi. Jika mereka
berkumpul maka mereka telah berta’ashub. (Lisanul ‘Arab : 1/606)
            Adapun
secara istilah, ta’ashub maknanya adalah satu tabi’at/kebiasaan yang
menunjukkan kelemahan, kebodohan yang menghiasi seseorang sehingga menjadi buta
pandangannya, tertutup hatinya. Sehingga tidak melihat kebaikan kecuali apa
yang  menurut akalnya, dan tidak melihat sebuah kebenaran kecuali apa
yang madzhabnya atau madzhab orang orang yang berkumpul bersamanya. (Muqoddimah
fie Asbaabi Ikhtilaafil Muslimin wa Tafarruqihim / Muhammad Abduh dan Thoriq
Abdul Karim hal 83)    
Ta’ashub
(fanatisme golongan) diharamkan walau terhadap nama-nama yang baik. Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah mengingkari perbuatan seorang dari kaum
Muhajirin dan seorang dan kaum Anshor ketika mereka berta’ashub kepada kelompok
masing-masing dalam percekcokan mereka dengan memanggil ‘hey muhajir!’.dan ‘hey
anshor!’ Jika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam saja mengingkari ta’ashub
terhadap nama-nama yang diridhoi oleh Alloh dan RosulNya, maka
bagaimanakah  dengan ta’ashub terhadap suatu nama yang hukumnya mubah
atau bahkan makruh? (Iqtidho’ush Shirotol Mustaqim 1/214 dan Al Fatawa : 3/415)
Peringatan Empat Imam Madzhab terhadap Umat Islam tentang Ta’ashub      
Sebagian
pengikut empat Imam Madzhab mereka ta’ashub terhadap madzhab yang mereka ikuti
padahal keempat imam tersebut tidak ada satupun yang memerintahkannya. Bahkan
mereka memperingatkan umat ini dengan peringatan yang cukup keras. Maka mari
kita dengarkan perkataan mereka rohimahumulloh tentang ta’ashub.
Imam
Abu Hanifah Rohimahulloh :” Jika datang sebuah hadits yang sanadnya
shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka kami pasti akan
mengambilnya”.
Imam
Malik Rohimahulloh :” Sesungguhnya aku hanya seorang
manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka lihatlah pendapatku. Maka apa-apa
yang sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah ambillah, dan apa-apa yang
menyelisihi keduanya tinggalkanlah”.
Imam
Syafi’i Rohimahulloh : “Jika ada hadits yang shohih maka
itulah madzhabku”.
Imam
Ahmad Rohimahulloh :” Pendapat Al Auza’i, pendapat
Malik dan pendapat Abu Hanifah semua itu hanyalah pendapat, dalam pandanganku
adalah sama. Sedangkan yang  dinamakan hujjah adalah yang terdapat
dalam atsar”.
Bahaya
Ta’ashub
Ta’ashub
memunculkan berbagai dampak negative yang sangat berbahaya bagi umat ini. Di
antaranya adalah :
1. Memejamkan
mata dari argument yang kuat dan berpegang dengan argument yang
rapuh.                                                                                                                 
Berkata
Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh : “Mayoritas orang-orang  fanatik
madzhab tidak mendalami Al-Qur’an dan Sunnah kecuali segelintir orang
saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh
atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi
bohong”. (Majmu’ Fatawa : 22/254)
2.      Mementahkan
dalil shahih karena bertentangan dengan madzhab.
3.      Menyulut
api permusuhan dan perselisihan.
Imam
Adz Dzahabi Rohimahulloh menceritakan dalam kitab “Mizanul I’tidal (4/51) bahwa
Muhammad bin Musa Al Balasaghuniy  pernah berkata : “Seandainya aku
menjadi pemimpin, niscaya aku akan mengambil pajak dari penganut madzhab
Syafi’I”.
4.      Menolak
kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya.
Ibnul
Jauzy Rohimahulloh mengatakan : “Termasuk tipu daya iblis terhadap para fuqaha’
yaitu tatkala jelas kebenaran berada di tangan lawannya, dia akan tetap
bersikukuh mempertahankan pendapatnya dan merasa sesak dada untuk menerima
kebenaran dari lawannya. Bahkan ia akan berusaha menggulingkan lawan padahal
sudah jelas dia yang benar”.
5.      Mempermainkan
dalil demi membela madzhabnya.
6.      Merubah
nash demi kepentingan madzhab.
Bagaimana ciri-ciri ashobiyah atau
fanatik berlebihan pada kelompok? Boleh jadi kita memilikinya, semoga bisa
dijauhi.
Inilah ta’ashub, tidak hanya berbahaya bagi persatuan umat tetapi juga bagi hal-hal lainnya dalam urusan dien. Maka agar persatuan umat bisa diwujudkan kita harus menyingkirkan dari dalam diri kita sifat ta’ashub disamping menyingkirkan hal-hal lainnya yang juga akan menghambat adanya persatuan. Dan tidak boleh kita lupakan adalah adanya do’a kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala karena atas kehendaknya lah segala sesuatu bisa terjadi. Semoga Alloh senantiasa menghimpun kita dalam jama’atul muslimin yang mengusung kebenaran dan menjadikan ridho Alloh sebagai tujuan akhirnya. 
Wallohu A’lam bish Showab.
Oleh Ust. Farid Ma’ruf
Jika ada dalil yang shahih …
dibantah dengan perkataan pemimpin atau kelompoknya.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2: 335)
Jika mereka punya dalil …
dalilnya rapuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mayoritas orang-orang fanatik madzhab tidak mendalami Al Qur’an dan As Sunnah kecuali segilintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadit-hadits yang rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi keliru.” Fanatik madzhab yang ada dahulu sama dengan fanatik kelompok saat ini.
Jika ada pendapat yang masih bisa ditolerir …
pendapat kelompoknya yang dianggap paling benar sendiri.
Jika ada pendapat luar …
tidak diterima, karena bukan dari pimpinan atau kelompoknya.
Sama persis dengan kisah berikut.
Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala’ menceritakan, bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Fadhl Al-Farra’ pernah menjadi imam shalat di Masjid Abdullah selama 60 puluh tahun lamanya. Beliau bermadzhab Syafi’i dan tentu melakukan qunut shubuh. Setelah itu imam shalat diambil alih oleh seseorang yang bermadzhab Maliki dan tidak melakukan qunut shubuh. Karena hal ini menyelisihi tradisi masyarakat setempat, akhirnya mereka bubar meninggalkan imam yang tidak melakukan qunut shubuh ini, seraya berkomentar, “Shalat imam tersebut tidak becus!!!”
Jika dinasihati dan dikritik …
sulit menerima, lebih-lebih nasihat dan kritikan yang menentang pendapat kelompoknya.
Jika ada kekeliruan dalam kelompoknya …
anggotanya membela mati-matian tanpa berdalil, bisa jadi pula mengatakan ini kan khilafiyah. Intinya, kelompoknya tidak boleh disalahkan karena ‘so pasti benar‘.
Jika pendukungnya ditanya …
lebih cenderung menjawab, kami kan kelompok ini, harus berpendapat seperti itu pula.
Jika berdakwah …
yang ditekankan adalah ikuti kelompoknya, bukan ikuti Al-Qur’an dan Hadits, bukan dakwah ilallah yang diarahkan, bukan dakwah pada tauhid dan ikuti tuntunan Nabi. Pokoknya dakwah pada kelompoknya yang dipentingkan.
Jika diperintah bersatu …
enggan dengan alasan ego dan kepentingan kelompok.
Jika ada anggota yang keluar dari pendapat kelompoknya …
dianggap telah menyimpang dan membelot bahkan bisa dikenakan sanksi.
Padahal dalam bermadzhab saja tidak sampai segitu banget. Imam Nawawi yang jadi ulama besar Syafi’iyah saja biasa menyelisihi pendapat imamnya, Imam Syafi’i. Bahkan dalam madzhab Syafi’i saja ada beberapa ‘wajh’ (pendapat), tak sekaku pendapat kelompok. Karena yang ingin diikuti oleh Imam Nawawi adalah dalil.
Jadi lebih enak bermadzhab, bebas berpendapat. Namun tentu saja berpendapat yang sesuai dengan dalil Al-Qur’an dan Hadits.
Ingat baik-baik perkataan Imam Syafi’i supaya menjauhi taqlid.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi tersebut lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”.
Ashobiyah Kaum Anshar dan Muhajirin
Ketika ada sifat fanatik pada kaum Anshar dan Muhajirin, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkannya. Ashobiyah seperti itu dianggap termasuk sifat jahiliyyah. Sifat ashobiyah yang terjadi karena tolong menolong yang terjadi pada kaum Anshar adalah pada kebatilan, begitu pula pada kaum Muhajirin. Sedangkan sifat orang mukmin adalah saling tolong menolong dalam kebenaran, baik kebenaran itu dari dalam atau luar kaumnya.
Nasihat di atas berlaku untuk diri kami, pada setiap da’i dan pendakwah. Semoga kita terjauhkan dari sifat ashobiyah dan fanatik kelompok yang berlebihan dan melampaui batas.
perakit
Egi Agan
